Showing posts with label education. Show all posts
Showing posts with label education. Show all posts

Monday, August 18, 2014

Bisnis dalam Pendidikan. Atau Pendidikan dalam Bisnis?

Pendidikan yang diidentikkan dengan bisnis, selalu mengundang tabu. Ingat guru IPS yang jaman SD dulu mengharuskan siswanya membeli peta kecil dari busa tipis, untuk kemudian digunting dan tempel? Sebagian orang tua mengeluhkan hal ini, karena selain tidak terlalu membantu proses pembelajaran, juga seringkali membutuhkan pengeluaran uang.
Praktik bisnis seperti ini seringkali ditemukan di berbagai sekolah. Tidak hanya sekolah negeri, sekolah swastapun selalu lihai melihat kesempatan bisnis di lingkungan sekolah.
Masalah pengadaan buku, misalnya. Saya mendengar bahwa sekolah tingkat SD sekarang menggunakan buku paket tematik. Tujuannya adalah meringankan beban siswa yang (mulanya) harus membawa berbagai buku pelajaran, menjadi cukup membawa satu buku saja. Kenyataannya, ada beberapa sekolah yang mewajibkan siswanya membeli "buku pendamping". Buku apa saja? Lengkap. Mulai dari matematika, bahasa, IPA, IPS, PKN, agama. Hampir semua. Lalu, dimana esensi pengadaan buku tematik? ┐(´д`)┌

Berbagai jenis bisnis terus berkembang di ranah pendidikan. Hal terbaru yang saya sadari adalah momen pembagian rapot. Beberapa bulan lalu, ketika pembagian rapot merajalela, saya ditugaskan oleh tempat kerja saya yang satu lagi (bukan sekolah, melainkan bimbingan belajar swasta) untuk menjaga stand di bazaar sebuah sekolah dasar.
Saat itu, saya baru sadar bahwa bazaar tersebut merupakan kolam susu bagi pihak sekolah. Sekolah hanya menyewa tenda besar sehingga sebagian besar lapangan sekolah tertutup dari sengatan matahari. Bangku dan kursi dari kelas dikeluarkan, ditata sedemikian hingga rapi layaknya bazaar-bazaar modern di pelataran mall dan pusat belanja. Tenant (penyewa stand)nya? Pihak ketiga, pihak luar yang memiliki bisnis bertarget pasar siswa atau orang tua siswa. Saat itu, saya melihat sekitar 50an stand. Pebisnis disini tergiur dengan banyaknya siswa dan orangtua yang akan hadir pada momen pembagian rapot. Lapangan sekolah kini dipadati oleh pebisnis kuliner, mainan, buku, tempat bimbel, sampai ke fashion!

Sebagai lulusan universitas pendidikan dengan konsentrasi bisnis, saya melihat momen semesteran ini sangat menguntungkan bagi pihak sekolah. Bayangkan. Sekolah hanya menyewa tenda. Sisanya, bangku dan kursi adalah properti sekolah. Pihak ketiga yang menyewa stand diharuskan membayar 200-300ribu per hari. Siswa dan orangtua yang datang dijadikan target pemasaran.

Namun, saya tidak melihat hal ini sebagau sesuatu yang tabu. Sekolah bahkan mempergunakan momen ini berbarengan dengan pentas seni yang mendorong kreatifitas siswa. Saya melihat pemanfaatan momen ini sebagau sesuatu yang cerdas. Berbeda dengan 'kewajiban membeli alat belajar yang belum tentu digunakan maksimal oleh siswa', bentuk bisnis semacam ini lebih banyak positifnya. Pertama, karena orangtua atau siswa tidak dipunguti biaya. Mereka berbelanja di bazar adalah pilihan, bukan kewajiban. Kedua, sekolah mendapatkan keuntungan dari pihak ketiga yang memang pebisnis. Ketiga, momen ini bisa dikolaborasikan dengan kegiatan yang mendorong anak untuk berkreasi, misalnya mencoba ikut berdagang, tampil di pentas, dan lain-lain.

Jadi, yang tabu itu adalah bisnis dalam dunia pendidikan. Yang positif adalah, pendidikan dalam dunia bisnis. (*゚▽゚)ノ

Sunday, June 29, 2014

Pendidikan di Mata Politik

Setelah cukup lama tidak menulis, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis mengenai topik yang sedang 'trending' akhir-akhir ini; politik.

Menuju pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini, saya cukup excited. Rasanya baru sekarang menghadapi para calon pemimpin yang pengaruhnya sangat kompetitif satu sama lain. Jujur, hingga debat kedua dan ketiga, saya masih berstatus swing voter; pemilih yang masih 'galau', kadang condong ke nomor satu, namun kadang tertarik dengan nomor dua. Namun setelah berdiskusi dengan masing-masing pendukung dari kedua belah pihak, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Debat cawapres yang baru saja saya dengar pada hari Minggu, 29 Juni 2014 semakin menyulut semangat saya untuk ikut andil dalam pemilihan presiden tanggal 9 nanti. Pasalnya, topik yang di angkat adalah mengenai pendidikan dan sumber daya manusia. Beberapa pertanyaan sangat mewakilkan aspirasi saya sebagai praktisi junior di bidang pendidikan.

Satu hal yang paling saya sayangkan selama ini ternyata dijadikan 'senjata utama' bagi salah satu kubu; saya selalu memikirkan dan menyayangkan kekayaan sumber daya alam yang diekspor mentah-mentah dan diimpor setelah menjadi barang konsumsi. Saya sangat menyayangkan minimnya pengetahuan dan teknologi sumber daya manusia di Indonesia sehingga kita kecolongan value added.

Dari pernyataan saya tersebut, tentu sudah terbaca pada kubu yang mana saya berpihak. Mereka menyuarakan apa yang selama ini saya teriakkan dalam hati. Namun, saya tidak mau berkampanye (baik hitam maupun putih) dalam tulisan saya ini. Dalam debat keempat ini, kedua cawapres memiliki keunggulan masing-masing. Hatta Rajasa adalah seorang ekonom yang sangat teoritis, terstuktur, cerdas dan mudah diterima logika. Namun JK yang sudah terbukti di pemerintahannya 10 tahun yang lalu adalah seorang businessman yang praktis, gesit dan nyata dalam bertindak.

Keunggulan mereka ketika dihadapkan satu sama lain dalam membahas masalah pendidikan cukup memuaskan. Hatta berkomitmen pada permasalahannya mengenai kebocoran value added. Fokus pada pengembangan sumber daya manusia, riset dan teknologi demi menyelamatkan martabat Indonesia di pasar global. JK memiliki keunggulan ketika menganggkat mengenai efektifitas, bukan peningkatan APBN untuk pendidikan, juga mengenai cross subsidi dalam pendidikan.

Satu yang sangat saya sayangkan. Ketika membahas mengenai evaluasi pendidikan--yang selama ini kita kenal dengan Ujian Nasional--menurut saya tidak menemukan titik temu ataupun titik terang. UN adalah produk yang didukung penuh oleh JK, namun seperti yang diungkapkan Hatta, penyeragaman sangat sulit dilakukan di negeri yang terdiversifikasi kemampuan dan tingkat ekonominya seperti Indonesia. JK menceritakan bahwa UN yang dilakukanpun sudah melalui banyak penyesuaian, mulai dari bobotnya (mulanya 100% kelulusan ditentukan oleh UN, kemudian terakhir menjadi 60%-40% antara nilai UN dan nilai raport), juga dari jumlah paket yang disediakan untuk mengurangi kecurangan. Namun, saya sangat gatal untuk bertanya: Tahukah anda, hal itu berdampak pada guru yang terpaksa harus 'mengatrol' nilai raportnya demi menyelamatkan anak-anaknya agar lulus UN? Tahukah bahwa beberapa anak kini mendapatkan nilai yang 'terpaksa' ditinggikan karena adanya tuntutan 40% nilai raport harus bisa 'menyelamat'kan siswa sekaligus sekolah, meskipun kemampuan anak masih sangat jauh dari cukup? Sayangnya, masalah yg bersifat teknis ini tidak dibahas (atau tidak diketahui?) baik oleh pihak Hatta maupun JK.

Hingga saat ini, saya sendiripun masih banyak bertanya, pentingkah UN? Adilkah? Tepatkah? Apa yang harus diperbaiki?

Semua jawabannya hanya bisa diungkapkan oleh pemerintahan berikutnya, pemerintah yang sadar dan peduli masalah pendidikan. The choice is yours, anda yang menentukan akan memilih kubu yang dapat melihat masalah secara global, atau memilih kubu yang sangat jelas secara teknis meski cakupannya lokal. Yang pasti, memilihlah!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...