Saturday, May 9, 2015

It Happened Annually

Setiap tahun, akan selalu ada kejadian yang sama.
Setiap tahun, aku akan kembali terkejut dengan rasa dan sensasinya.
Setiap tahun, akan ada tawa bahagia dan senyuman bangga.

"IBU!! AKU LOLOS SELEKSINYA!"

Kalimatnya beragam,

"KAKAK! AKU BERHASIL!"

atau

"TEH, AKU DITERIMA!"

Kalimat yang selalu menguatkanku, mengingatkanku agar tidak berhenti. Selelah apapun, akan selalu terbayar.

Congratulation, students! :')

Friday, March 20, 2015

This is How I Cheer Up Myself

Mengajar itu tidak mudah, apalagi mengajar tingkat SMA. Bukan, bukan karena materinya yang sulit. Tapi, keberanekaragaman siswanya. Saya baru saja mengajar siswa kelas 10 SMA (ya, berseragam putih abu!) yang belum tahu caranya perkalian atau pembagian. Saya pernah mengajar siswa yang baru saja diajari, lalu puff. Semuanya hilang dan dia lupa seolah amnesia.

Namun, bukankah mereka bisa jadi memiliki potensi yang tidak saya ketahui? Mereka bisa menjadi apa saja di masa depannya. Siapa yang tau salah satu siswa saya menjadi pemimpin, pokitikus, pembalap, atlit, artis? Jadi, inilah cara saya menyemangati diri saya ketika mengajar: mereka bisa jadi siapa saja di masa depan.

Wednesday, February 18, 2015

Kak, kakak tau "madog" gak?

Sejak berhenti dari sekolah dan memutuskan untuk mengajar di bimbel dan mengurus lembaga sendiri, blog ini jadi minim cerita. Ya, cerita tentang mengajar di sekolah jaaauuuh lebih banyak dan menyenangkan dibanding ketika mengajar di bimbingan belajar yang jumlah siswanya hanya sedikit.

Bosan, saya mencoba mencari kegiatan baru. Sayapun bergabung dengan komunitas 1000 Guru (www.seribuguru.org) dan mendaftarkan diri untuk mengikuti salah satu programnya.

Dua hari sebelum keberangkatan, saya diundang untuk briefing di Taman Film, Bandung. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sini, padahal saya orang Bandung. Haha.



Taman Film berlokasi di bawah jembatan layang Pasopati. Daerah sekitarnya masih tergolong (maaf) kumuh, namun kehadiran taman ini memberikan tempat bermain baru bagi anak-anak di sana.

Selama briefing berlangsung, saya memperhatikan tiga orang anak kecil yang bermain bola dengan riang. Setelah kami selesai, salah satu dari mereka menghampiri, dan saya berkenalan dengannya. Merasa nyaman ngobrol dengan kami, anak lelaki polos yang masih duduk di kelas 2 SD ini akhirnya bercerita baaanyak hal. Dengan polosnya, ia melontarkan tebak-tebakan, cerita lucu, membicarakan temannya, hingga gurunya.

Saya masih terhanyut dengan polosnya wajah riang itu ketika bercerita, sampai pada satu kalimat; "Kak, kakak tau madog gak?"

Madog adalah kata kasar yang artinya mencuri. Saya mengerutkan dahi. Teman saya yang tak paham bahasa sunda bertanya apa artinya.

"Madog itu, kalau ada yang lagi dagang, terus kita diam-diam ngambil, masukin ke baju, terus pulang!" dia berkata dengan bangganya. "aku pernah madog. Disuruh bapa!" sambungnya, senyumnya makin lebar. "kalau aku berhasil madog, aku dikasih uang sama bapa" katanya lagi.

Aku mematung. Anak sekecil itu, sepolos dan sebersih itu, digoreskan pendidikan yang salah oleh orangtuanya sendiri. Dan yang dia tau, mencuri adalah perbuatan yang tidak salah, karena ia mendapat reward jika berhasil. Bahkan, dia bercerita tentang asyiknya lari dari teriakan si pedagang jika ia tertangkap tangan.

Aku hanya bisa berkata "itu gak bagus, loh".. Lalu dia tersenyum, "hehehe", dan kembali berlari dan bermain dengan bolanya.

Dunia ini tak sesuci yang kita pikirkan.. Pendidikan dari orangtua tak sesempurna yang semestinya. Aku hanya bisa berdoa, agar orangtua seperti ayah dari anak tersebut disadarkan dan, agar anak itu dapat kembali bersih, suci, sepolos tawanya yang riang ketika mengejar bolanya.

Wednesday, October 29, 2014

When You Missing Something...

"You will know the value of something when it's become memory"

I think this quote is super true. Because when I saw this pic, I feel something missing..


(Photo taken from ms_rico_'s instagram)

Yep, making lesson plans is one of the very hectic job as a teacher. Sometimes, I can't sleep well for two weeks doing this administrative things. I usually grumbling when I do this job. But now, when I'm not having responsibility to make this things anymore, I feel that I miss it.

Thinking for 'what learning methods will we use? 'and 'what materials do I need?' sometimes can be very fun! And yes, teacher always hope that the class lessons or projects can be an awesome memory to the students.

I miss class teaching. With all the lesson plan jobs.
For now.
:p

Sunday, October 12, 2014

First and Very Basic Education


Saat sedang randomly scrolling newsfeed di Facebook, saya melihat share video ini. Ibu saya baru saja menceritakannya beberapa jam yang lalu, jadi saya tak perlu klik tautannya untuk melihat apa isinya.

"Anak SD, di sekolah disiksa, malahan sambil loncat, dia ditendang dan ditinggang (dipukul). Teman-teman yang lainnya hanya diam dan nonton saja"
Hatiku teriris. Sekolah, harusnya jadi tempat membentuk akhlak, perilaku baik. Mencoba tetap tenang, saya bilang "Kebanyakan nonton film action tuh, anaknya."

Beberapa bulan lalu, dunia maya digegerkan dengan ulah anak SMP yang belajar 'anatomi tubuh'. Dengan kalemnya, siswa laki-laki menggerayangi siswa perempuan, di kelas, ditonton banyak temannya. Sebelumnya, saya masih ingat berita koran yang memberitakan seorang siswa SMA mogok masuk sekolah, bahkan menuntut gurunya gara-gara gurunya memberi hukuman berupa 'potong rambut gratis'. Ini hukuman yang wajar diberikan ketika setelah berkali diingatkan, siswa tidak juga mengikuti kedisiplinan sekolah mengenai penampilan, termasuk rambut.

Saya tak habis pikir. Beberapa orang menyalahkan sekolah dan guru dalam berbagai kasus tersebut. Mungkin ini terdengar seperti pembelaan bagi saya yang seorang guru. Tapi, bukankah sekolah dan guru adalah penunjang? Pendidikan setiap anak dimulai di tempat ia dilahirkan, diajari berbicara dan berjalan. Etika dasar seperti "Jangan menyakiti orang lain", "Berbuat baik pada teman", "bersikaplah sopan" adalah bekal wajib yang harus dibawa siswa ke sekolah, dari rumahnya masing-masing. Tentu saja, guru dan sekolah akan terus mematri etika-etika tersebut agar tak pernah dilupakannya hingga dewasa. Namun, jangan pernah lupa bahwa pendidikan dari orang tua adalah dasarnya.

Kami menyampaikan kebaikan, tapi apa daya jika di rumah ia disuguhkan kekerasan dan itu biasa baginya?
Kami menganjurkan menunda pacaran di usia sekolah, tapi ada daya jika bahkan orangtua pun memperbolehkannya?
Kami mendisiplinkan, tapi apa daya jika tindak tegas kami hanya dianggap kekerasan?

Pendidikan adalah kerjasama, antara edukasi sekolah dan edukasi dasar di rumah. Ini uga yang harus dipahami bagi setiap orangtua dan calon orang tua.

Thursday, October 2, 2014

Last Day at School



Our First (and last) pic

Kemarin, tanggal 30 September 2014 adalah hari terakhir saya mengajar di sekolah tempat saya mengabdi. Terlalu banyak pertanyaan "kenapa", tapi sebenarnya saya sendiri sulit mengungkapkan alasannya dalam bentuk kata-kata.

Sekolah ini bagus, berpotensi baik, dengan anak-anak yang menyenangkan. Sekolah ini adalah inspirasi utama saya dalam menulis blog ini. Lalu, kenapa?

This empty teacher room always makes me comfortable <3
Hidup adalah pilihan. Kita hanya punya 24 jam dalam satu hari. Menurut ilmu ekonomi, ada yang disebut dengan problem of choices. Ketika manusia dihadapkan dengan pilihan, banyak hal yang dipertimbangkan, kemudian salah satunya harus dikorbankan. Mengajar adalah jiwa saya. Namun, masih banyak mimpi dan masih banyak jalan yang harus ditekuni.

Saya mempersiapkan kata-kata perpisahan jauh sebelum hari itu. Saat harinya tiba, rasanya cukup menyesakkan. Saya mengajar dengan mata yang lebih awas; saya tekuni wajah siswa satu persatu. Saya merasa perpisahan ini akan berlangsung biasa; perpisahan di sekolah selalu terjadi. Anak-anak tumbuh, besar, naik kelas, lulus, dan lupa pada gurunya. Pilihannya hanya dua: meninggalkan atau ditinggalkan. Jadi, tidak akan ada yang spesial di hari pengumuman ini, saya pikir.

Reaksi anak-anak saat mendengar bahwa saat itu adalah hari terakhir saya cukup mengejutkan. Mereka ber "HAAAAAAAAAHHHH...???" Panjang dan keras. Saya hanya nyengir, sambil melanjutkan beberapa wejangan saya agar mereka tetap semangat dan rajin belajar. Detik selanjutnya tidak akan pernah saya lupakan. Salah satu siswa menunduk terdiam, dan tak butuh waktu banyak untuk tahu bahwa ia menahan tangis. Dua-tiga siswa perempuan lainnya ikut menangis. Saya tak pernah menyangka akan membuat mereka sesedih ini. Hari itu adalah kali pertama saya belajar tegar. Sebelumnya, saya adalah pengobral air mata. Di depan siswa, saya harus kuat. Meyakinkan mereka untuk juga tegar.

Bendungan air mata saya terlatih. Saya tak menangis. Saya bahagia. Di hari terakhir saya mengajar, saya tahu bahwa cinta saya pada mereka selama ini telah sampai. Tidak hanya di telinga, di mata, atau di otak. Tapi di hati. Menit terakhir, saya bergiliran memeluk siswa perempuan dan menepuk pundak siswa laki-laki.

Saya akan merindukan mereka. Dan sekolah ini.

Sekolah mana lagi yang punya pemandangan seperti ini setiap musim panen? :D

Sekolah selalu memiliki dua keadaan yang sangat berbeda: sangat ramai atau sangat sepi.



Tuesday, September 23, 2014

Voiceless Teaching

Remember that badge from "Eat, Pray Love" movie? I think I need that one.
Musim pancaroba. Flu. Angin malam. Terlalu semangat mengajar. Saya tidak tahu faktor mana yang paling mempengaruhi pada kondisi saya hari ini, namun yang pasti, mereka semua berpartisipasi dalam kasus ini: Penculikan suara milik Ibu Vicky!

http://eemoticons.net 

Setelah mengajar non-stop dari jam 13 sampai 18 dalam kondisi tenggorokan yang tidak sehat, ternyata di hari kedua setelah 'konser' suara saya berubah melengking. Awalnya berasa seksi, mirip-mirip suara Dewi Perssik yang lagi manja. Lama-lama, suaranya makin melemah dan keesokan harinya, saya bangun dengan suara yang sama sekali hilang (!)

Dari situ, saya baru menyadari bahwa kesehatan tenggorokan adalah hal yang paling penting bagi seorang guru. Terkadang, kita menyadari sesuatu yang berharga justru ketika sesuatu itu sedang tidak ada. :')
Sampai hari ini, saya datang ke sekolah dengan kondisi tubuh yang fit, tapi tanpa suara. Kepala sekolah bahkan menunda jadwal supervisinya. But show must go on! Sebentar lagi siswa harus menghadapi UTS dan maih ada pembelajaran yang harus dilakukan sebelum UTS tiba. Akhirnya, saya tetap masuk kelas. Voiceless teaching.

Mulanya, saya menugaskan beberapa siswa untuk jadi "tim sukses". Mereka harus tahu kondisi saya, mengumumkan pada teman sekelasnya, dan menjalani amanah untuk mengontrol masing-masing kelompok belajarnya. Untungnya, KBM hari ini adalah untuk melanjutkan drama minggu lalu. Kemudian, KBM dilanjutkan dengan diskusi mengenai penyebab dan cara mengatasi pengangguran. Saya hanya memberi sedikit direction untuk siswa. Beberapa dibantu dengan bahasa isyarat (beberapa tak kuat menahan tawa, saya sendiri geli memeragakan bahasa isyarat di depan kelas). Namun akhirnya, hari ini berlalu dengan lancar, meski mungkin kurang efektif.

Satu hal, teachers: jaga kondisi, karena tubuhmu, suaramu, pikirmu, idemu dibutuhkan ratusan siswamu. Guru, bukan lagi manusia yang bekerja demi dirinya sendiri. Mereka bekerja untuk manusia yang lain.

Doakan saya cepat sembuh, ya. :')

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...