Saturday, August 23, 2014

Class Laughter #2

Di tempat kerja kedua saya--bimbingan belajar informal--selalu ada rekrutmen rutin dan kami biasanya ditugaskan untuk mengetes guru baru di tahap microteaching. Pada tahap ini, guru-guru lama bertingkah seperti siswa, tak sedikit yang meniru tingkah siswa yang suka membuat onar di kelas. Tujuannya, untuk melihat kemampuan guru baru dalam mengendalikan kelas.

Guru Baru: Nah jadi, rumus untuk menyelesaikan soal ini adalah...
Guru Lama1: Pak..! Si A malah mainin handphone!
Guru Baru : Jangan main handphone ya, nak.. kan sedang belajar.
Guru Lama2: Kata siapa gak boleh main handphone?
Guru Baru: Kata saya...
Guru Lama2: Main handphone mah boleh, pak. Yang nggak boleh mainin hati bapak.. :3
*kemudian salting*

Monday, August 18, 2014

Bisnis dalam Pendidikan. Atau Pendidikan dalam Bisnis?

Pendidikan yang diidentikkan dengan bisnis, selalu mengundang tabu. Ingat guru IPS yang jaman SD dulu mengharuskan siswanya membeli peta kecil dari busa tipis, untuk kemudian digunting dan tempel? Sebagian orang tua mengeluhkan hal ini, karena selain tidak terlalu membantu proses pembelajaran, juga seringkali membutuhkan pengeluaran uang.
Praktik bisnis seperti ini seringkali ditemukan di berbagai sekolah. Tidak hanya sekolah negeri, sekolah swastapun selalu lihai melihat kesempatan bisnis di lingkungan sekolah.
Masalah pengadaan buku, misalnya. Saya mendengar bahwa sekolah tingkat SD sekarang menggunakan buku paket tematik. Tujuannya adalah meringankan beban siswa yang (mulanya) harus membawa berbagai buku pelajaran, menjadi cukup membawa satu buku saja. Kenyataannya, ada beberapa sekolah yang mewajibkan siswanya membeli "buku pendamping". Buku apa saja? Lengkap. Mulai dari matematika, bahasa, IPA, IPS, PKN, agama. Hampir semua. Lalu, dimana esensi pengadaan buku tematik? ┐(´д`)┌

Berbagai jenis bisnis terus berkembang di ranah pendidikan. Hal terbaru yang saya sadari adalah momen pembagian rapot. Beberapa bulan lalu, ketika pembagian rapot merajalela, saya ditugaskan oleh tempat kerja saya yang satu lagi (bukan sekolah, melainkan bimbingan belajar swasta) untuk menjaga stand di bazaar sebuah sekolah dasar.
Saat itu, saya baru sadar bahwa bazaar tersebut merupakan kolam susu bagi pihak sekolah. Sekolah hanya menyewa tenda besar sehingga sebagian besar lapangan sekolah tertutup dari sengatan matahari. Bangku dan kursi dari kelas dikeluarkan, ditata sedemikian hingga rapi layaknya bazaar-bazaar modern di pelataran mall dan pusat belanja. Tenant (penyewa stand)nya? Pihak ketiga, pihak luar yang memiliki bisnis bertarget pasar siswa atau orang tua siswa. Saat itu, saya melihat sekitar 50an stand. Pebisnis disini tergiur dengan banyaknya siswa dan orangtua yang akan hadir pada momen pembagian rapot. Lapangan sekolah kini dipadati oleh pebisnis kuliner, mainan, buku, tempat bimbel, sampai ke fashion!

Sebagai lulusan universitas pendidikan dengan konsentrasi bisnis, saya melihat momen semesteran ini sangat menguntungkan bagi pihak sekolah. Bayangkan. Sekolah hanya menyewa tenda. Sisanya, bangku dan kursi adalah properti sekolah. Pihak ketiga yang menyewa stand diharuskan membayar 200-300ribu per hari. Siswa dan orangtua yang datang dijadikan target pemasaran.

Namun, saya tidak melihat hal ini sebagau sesuatu yang tabu. Sekolah bahkan mempergunakan momen ini berbarengan dengan pentas seni yang mendorong kreatifitas siswa. Saya melihat pemanfaatan momen ini sebagau sesuatu yang cerdas. Berbeda dengan 'kewajiban membeli alat belajar yang belum tentu digunakan maksimal oleh siswa', bentuk bisnis semacam ini lebih banyak positifnya. Pertama, karena orangtua atau siswa tidak dipunguti biaya. Mereka berbelanja di bazar adalah pilihan, bukan kewajiban. Kedua, sekolah mendapatkan keuntungan dari pihak ketiga yang memang pebisnis. Ketiga, momen ini bisa dikolaborasikan dengan kegiatan yang mendorong anak untuk berkreasi, misalnya mencoba ikut berdagang, tampil di pentas, dan lain-lain.

Jadi, yang tabu itu adalah bisnis dalam dunia pendidikan. Yang positif adalah, pendidikan dalam dunia bisnis. (*゚▽゚)ノ

Class Laughter #1

*sedang mempresentasikan hasil pengumpulan data mengenai negara maju dan berkembang*

Siswa A: Finlandia sempat memiliki hutang luar negeri yang sangat banyak, mencapai US $ 30++...
Kelas: *menyimak*
Siswa A: Namun, Finlandia mampu bangkit dari keterpurukan tersebut. bakwan, Finlandia menjadi salah satu negara yang..
Kelas: Bakwan?
Siswa A: Maksud saya, bahkan..
Kelas: Mulai lapaa~ar mulai lapaar~

pic source

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...