Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts

Sunday, October 12, 2014

First and Very Basic Education


Saat sedang randomly scrolling newsfeed di Facebook, saya melihat share video ini. Ibu saya baru saja menceritakannya beberapa jam yang lalu, jadi saya tak perlu klik tautannya untuk melihat apa isinya.

"Anak SD, di sekolah disiksa, malahan sambil loncat, dia ditendang dan ditinggang (dipukul). Teman-teman yang lainnya hanya diam dan nonton saja"
Hatiku teriris. Sekolah, harusnya jadi tempat membentuk akhlak, perilaku baik. Mencoba tetap tenang, saya bilang "Kebanyakan nonton film action tuh, anaknya."

Beberapa bulan lalu, dunia maya digegerkan dengan ulah anak SMP yang belajar 'anatomi tubuh'. Dengan kalemnya, siswa laki-laki menggerayangi siswa perempuan, di kelas, ditonton banyak temannya. Sebelumnya, saya masih ingat berita koran yang memberitakan seorang siswa SMA mogok masuk sekolah, bahkan menuntut gurunya gara-gara gurunya memberi hukuman berupa 'potong rambut gratis'. Ini hukuman yang wajar diberikan ketika setelah berkali diingatkan, siswa tidak juga mengikuti kedisiplinan sekolah mengenai penampilan, termasuk rambut.

Saya tak habis pikir. Beberapa orang menyalahkan sekolah dan guru dalam berbagai kasus tersebut. Mungkin ini terdengar seperti pembelaan bagi saya yang seorang guru. Tapi, bukankah sekolah dan guru adalah penunjang? Pendidikan setiap anak dimulai di tempat ia dilahirkan, diajari berbicara dan berjalan. Etika dasar seperti "Jangan menyakiti orang lain", "Berbuat baik pada teman", "bersikaplah sopan" adalah bekal wajib yang harus dibawa siswa ke sekolah, dari rumahnya masing-masing. Tentu saja, guru dan sekolah akan terus mematri etika-etika tersebut agar tak pernah dilupakannya hingga dewasa. Namun, jangan pernah lupa bahwa pendidikan dari orang tua adalah dasarnya.

Kami menyampaikan kebaikan, tapi apa daya jika di rumah ia disuguhkan kekerasan dan itu biasa baginya?
Kami menganjurkan menunda pacaran di usia sekolah, tapi ada daya jika bahkan orangtua pun memperbolehkannya?
Kami mendisiplinkan, tapi apa daya jika tindak tegas kami hanya dianggap kekerasan?

Pendidikan adalah kerjasama, antara edukasi sekolah dan edukasi dasar di rumah. Ini uga yang harus dipahami bagi setiap orangtua dan calon orang tua.

Monday, August 18, 2014

Bisnis dalam Pendidikan. Atau Pendidikan dalam Bisnis?

Pendidikan yang diidentikkan dengan bisnis, selalu mengundang tabu. Ingat guru IPS yang jaman SD dulu mengharuskan siswanya membeli peta kecil dari busa tipis, untuk kemudian digunting dan tempel? Sebagian orang tua mengeluhkan hal ini, karena selain tidak terlalu membantu proses pembelajaran, juga seringkali membutuhkan pengeluaran uang.
Praktik bisnis seperti ini seringkali ditemukan di berbagai sekolah. Tidak hanya sekolah negeri, sekolah swastapun selalu lihai melihat kesempatan bisnis di lingkungan sekolah.
Masalah pengadaan buku, misalnya. Saya mendengar bahwa sekolah tingkat SD sekarang menggunakan buku paket tematik. Tujuannya adalah meringankan beban siswa yang (mulanya) harus membawa berbagai buku pelajaran, menjadi cukup membawa satu buku saja. Kenyataannya, ada beberapa sekolah yang mewajibkan siswanya membeli "buku pendamping". Buku apa saja? Lengkap. Mulai dari matematika, bahasa, IPA, IPS, PKN, agama. Hampir semua. Lalu, dimana esensi pengadaan buku tematik? ┐(´д`)┌

Berbagai jenis bisnis terus berkembang di ranah pendidikan. Hal terbaru yang saya sadari adalah momen pembagian rapot. Beberapa bulan lalu, ketika pembagian rapot merajalela, saya ditugaskan oleh tempat kerja saya yang satu lagi (bukan sekolah, melainkan bimbingan belajar swasta) untuk menjaga stand di bazaar sebuah sekolah dasar.
Saat itu, saya baru sadar bahwa bazaar tersebut merupakan kolam susu bagi pihak sekolah. Sekolah hanya menyewa tenda besar sehingga sebagian besar lapangan sekolah tertutup dari sengatan matahari. Bangku dan kursi dari kelas dikeluarkan, ditata sedemikian hingga rapi layaknya bazaar-bazaar modern di pelataran mall dan pusat belanja. Tenant (penyewa stand)nya? Pihak ketiga, pihak luar yang memiliki bisnis bertarget pasar siswa atau orang tua siswa. Saat itu, saya melihat sekitar 50an stand. Pebisnis disini tergiur dengan banyaknya siswa dan orangtua yang akan hadir pada momen pembagian rapot. Lapangan sekolah kini dipadati oleh pebisnis kuliner, mainan, buku, tempat bimbel, sampai ke fashion!

Sebagai lulusan universitas pendidikan dengan konsentrasi bisnis, saya melihat momen semesteran ini sangat menguntungkan bagi pihak sekolah. Bayangkan. Sekolah hanya menyewa tenda. Sisanya, bangku dan kursi adalah properti sekolah. Pihak ketiga yang menyewa stand diharuskan membayar 200-300ribu per hari. Siswa dan orangtua yang datang dijadikan target pemasaran.

Namun, saya tidak melihat hal ini sebagau sesuatu yang tabu. Sekolah bahkan mempergunakan momen ini berbarengan dengan pentas seni yang mendorong kreatifitas siswa. Saya melihat pemanfaatan momen ini sebagau sesuatu yang cerdas. Berbeda dengan 'kewajiban membeli alat belajar yang belum tentu digunakan maksimal oleh siswa', bentuk bisnis semacam ini lebih banyak positifnya. Pertama, karena orangtua atau siswa tidak dipunguti biaya. Mereka berbelanja di bazar adalah pilihan, bukan kewajiban. Kedua, sekolah mendapatkan keuntungan dari pihak ketiga yang memang pebisnis. Ketiga, momen ini bisa dikolaborasikan dengan kegiatan yang mendorong anak untuk berkreasi, misalnya mencoba ikut berdagang, tampil di pentas, dan lain-lain.

Jadi, yang tabu itu adalah bisnis dalam dunia pendidikan. Yang positif adalah, pendidikan dalam dunia bisnis. (*゚▽゚)ノ

Sunday, June 29, 2014

Pendidikan di Mata Politik

Setelah cukup lama tidak menulis, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis mengenai topik yang sedang 'trending' akhir-akhir ini; politik.

Menuju pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini, saya cukup excited. Rasanya baru sekarang menghadapi para calon pemimpin yang pengaruhnya sangat kompetitif satu sama lain. Jujur, hingga debat kedua dan ketiga, saya masih berstatus swing voter; pemilih yang masih 'galau', kadang condong ke nomor satu, namun kadang tertarik dengan nomor dua. Namun setelah berdiskusi dengan masing-masing pendukung dari kedua belah pihak, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Debat cawapres yang baru saja saya dengar pada hari Minggu, 29 Juni 2014 semakin menyulut semangat saya untuk ikut andil dalam pemilihan presiden tanggal 9 nanti. Pasalnya, topik yang di angkat adalah mengenai pendidikan dan sumber daya manusia. Beberapa pertanyaan sangat mewakilkan aspirasi saya sebagai praktisi junior di bidang pendidikan.

Satu hal yang paling saya sayangkan selama ini ternyata dijadikan 'senjata utama' bagi salah satu kubu; saya selalu memikirkan dan menyayangkan kekayaan sumber daya alam yang diekspor mentah-mentah dan diimpor setelah menjadi barang konsumsi. Saya sangat menyayangkan minimnya pengetahuan dan teknologi sumber daya manusia di Indonesia sehingga kita kecolongan value added.

Dari pernyataan saya tersebut, tentu sudah terbaca pada kubu yang mana saya berpihak. Mereka menyuarakan apa yang selama ini saya teriakkan dalam hati. Namun, saya tidak mau berkampanye (baik hitam maupun putih) dalam tulisan saya ini. Dalam debat keempat ini, kedua cawapres memiliki keunggulan masing-masing. Hatta Rajasa adalah seorang ekonom yang sangat teoritis, terstuktur, cerdas dan mudah diterima logika. Namun JK yang sudah terbukti di pemerintahannya 10 tahun yang lalu adalah seorang businessman yang praktis, gesit dan nyata dalam bertindak.

Keunggulan mereka ketika dihadapkan satu sama lain dalam membahas masalah pendidikan cukup memuaskan. Hatta berkomitmen pada permasalahannya mengenai kebocoran value added. Fokus pada pengembangan sumber daya manusia, riset dan teknologi demi menyelamatkan martabat Indonesia di pasar global. JK memiliki keunggulan ketika menganggkat mengenai efektifitas, bukan peningkatan APBN untuk pendidikan, juga mengenai cross subsidi dalam pendidikan.

Satu yang sangat saya sayangkan. Ketika membahas mengenai evaluasi pendidikan--yang selama ini kita kenal dengan Ujian Nasional--menurut saya tidak menemukan titik temu ataupun titik terang. UN adalah produk yang didukung penuh oleh JK, namun seperti yang diungkapkan Hatta, penyeragaman sangat sulit dilakukan di negeri yang terdiversifikasi kemampuan dan tingkat ekonominya seperti Indonesia. JK menceritakan bahwa UN yang dilakukanpun sudah melalui banyak penyesuaian, mulai dari bobotnya (mulanya 100% kelulusan ditentukan oleh UN, kemudian terakhir menjadi 60%-40% antara nilai UN dan nilai raport), juga dari jumlah paket yang disediakan untuk mengurangi kecurangan. Namun, saya sangat gatal untuk bertanya: Tahukah anda, hal itu berdampak pada guru yang terpaksa harus 'mengatrol' nilai raportnya demi menyelamatkan anak-anaknya agar lulus UN? Tahukah bahwa beberapa anak kini mendapatkan nilai yang 'terpaksa' ditinggikan karena adanya tuntutan 40% nilai raport harus bisa 'menyelamat'kan siswa sekaligus sekolah, meskipun kemampuan anak masih sangat jauh dari cukup? Sayangnya, masalah yg bersifat teknis ini tidak dibahas (atau tidak diketahui?) baik oleh pihak Hatta maupun JK.

Hingga saat ini, saya sendiripun masih banyak bertanya, pentingkah UN? Adilkah? Tepatkah? Apa yang harus diperbaiki?

Semua jawabannya hanya bisa diungkapkan oleh pemerintahan berikutnya, pemerintah yang sadar dan peduli masalah pendidikan. The choice is yours, anda yang menentukan akan memilih kubu yang dapat melihat masalah secara global, atau memilih kubu yang sangat jelas secara teknis meski cakupannya lokal. Yang pasti, memilihlah!

Monday, November 11, 2013

It's not as simple as you think

So many people (specially in my country) underestimate this kind of occupation; being a teacher. Our lifestyle here made us more excited to have a job which can make a lot of money such as actrees, banker, doctor, etc.

Some people said that being a teacher is  the most enjoyable job, because you can have a lot of holiday (when school was on holiday too) and you don't have a tight schedule. You can go home early when the school time is over.

It's true, but I can't agree with them who underestimate my job. It isn't as simple as you think. My duty is about my students, and their future. Their attitude, their habits. And beside that, I have administrational duty too. And I usually hadn't any time left to do this at school, and it makes me took all that thing as a home work. Lately, I feel kinda frustrated with this thing, yet feel excited at the same time.

Hope I can get through all this thing.

Tuesday, October 8, 2013

yang Paling Mulia, yang Paling Kere

Isu tentang rencana penertiban para gelandangan, pengemis dan pengamen (Gepeng) di kota Bandung mungkin sudah bukan berita baru lagi. Ya, kalian bisa melihatnya di berbagai portal berita, sepotong cerita tentang walikota Bandung yang menawarkan pekerjaan bagi para Gepeng. Mulia, kan?

Para Gepeng biasanya punya alasan yang klise untuk menolak penertiban: "kami ditertibkan, tidak boleh meminta-minta, padahal kami butuh makan. Pekerjaanpun kami tak punya karena tidak ada yang mau menerima kami. Sekolah saja tidak lulus karena biaya.." dan blablabla. Namun, kali ini seharusnya aksi protes tersebut tak perlu lagi digaungkan karena pemerintah kota memberikan pilihan: bekerja sebagai penyapu jalan dan diberi gaji oleh pemerintah, atau ditertibkan.

Mereka diberi pilihan untuk setidaknya mengangkat harga diri mereka dari pengemis menjadi pekerja. Namun, apa yang terjadi? Mereka meminta gaji berkisar antara 4-10 juta rupiah per bulan untuk jadi penyapu jalan! Alasannya, mereka memiliki banyak kebutuhan.

Selidik punya selidik, sebuah badan statistik independen mencoba menghitung penghasilan para Gepeng dengan perhitungan kasar. Kalau tidak salah, begini hitungan kasarnya:

Asumsikan lampu merah menyala setiap 5 menit. Inilah saatnya para Gepeng beraksi memasang wajah memelas. Rata-ratakan, setiap satu kali lampu merah, mereka mendapat 2000 rupiah. Dalam satu jam, mereka mendapatkan 24000 rupiah. Apabila mereka nongkrong di lampu merah selama 10 jam saja, mereka bisa mendapatkan 240000 rupiah. Dalam sebulan, coba kalikan dengan 30 hari? Pendapatan mereka 7200000 rupiah. Saya perjelas; TUJUH JUTA DUARATUS RIBU RUPIAH!!

Sekali lagi, ini bukan isu hangat. Namun, dari sinilah diskusi terjadi dimana-mana. Sebagian besar tentu naik pitam mendengarnya. Dengan alasan-alasan yang berbeda. Namun, alasannya didominasi dengan perbandingan besarnya pendapatan dengan mereka yang sudah bergelar S1.

Salah satu teman di facebook saya bahkan membuat infographic-nya, yang cukup brilian. Nah. Yang membuat saya agak merasa terganggu, adalah diagram batang di bagian bawah. Terdapat data berbagai macam penghasilan, dan profesi saya sebagai guru honorer ikut mejeng disana. Menyakitkan memang, ketika pekerjaan paling mulia dinilai paling murah, sedangkan pekerjaan yang *maaf* agak kurang baik (sebagai pengemis) justru memiliki penghasilan yang sangat tinggi. Melebihi mereka yang telah meniti karir sebagai manajer sekalipun.

Hal yang paling membuat saya ingin meledak sebenarnya bukan masalah berapa saya dibayar dan berapa mereka mendapat uang. Hal itu merupakan rezeki dari Allah, masing-masing berbeda dan masing-masing punya jalannya sendiri. Tapi, apa mengemis itu merupakan jalan mencari rezeki? Saya pikir tidak.. karena bahkan Nabi Muhammadpun mencontohkan pada umatnya untuk berusaha berdagang atau bekerja, supaya tidak mengais sisa sisa rezeki orang lain dengan cara mengemis. Saya tidak masalah dengan angka. Toh, pekerjaan saya mulia.

Yang paling menganggu saya adalah mental dan budaya mengemis di generasi selanjutnya. Kalau mentalnya sudah mental peminta-minta; ayahnya mengemis, ibunya mengemis, lalu membuat anak yang banyak untuk mengemis, dan mereka membudayakan minta-minta sebagai profesi, mau jadi apa negara kita ini?

[Pic source]

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...