Wednesday, October 29, 2014

When You Missing Something...

"You will know the value of something when it's become memory"

I think this quote is super true. Because when I saw this pic, I feel something missing..


(Photo taken from ms_rico_'s instagram)

Yep, making lesson plans is one of the very hectic job as a teacher. Sometimes, I can't sleep well for two weeks doing this administrative things. I usually grumbling when I do this job. But now, when I'm not having responsibility to make this things anymore, I feel that I miss it.

Thinking for 'what learning methods will we use? 'and 'what materials do I need?' sometimes can be very fun! And yes, teacher always hope that the class lessons or projects can be an awesome memory to the students.

I miss class teaching. With all the lesson plan jobs.
For now.
:p

Sunday, October 12, 2014

First and Very Basic Education


Saat sedang randomly scrolling newsfeed di Facebook, saya melihat share video ini. Ibu saya baru saja menceritakannya beberapa jam yang lalu, jadi saya tak perlu klik tautannya untuk melihat apa isinya.

"Anak SD, di sekolah disiksa, malahan sambil loncat, dia ditendang dan ditinggang (dipukul). Teman-teman yang lainnya hanya diam dan nonton saja"
Hatiku teriris. Sekolah, harusnya jadi tempat membentuk akhlak, perilaku baik. Mencoba tetap tenang, saya bilang "Kebanyakan nonton film action tuh, anaknya."

Beberapa bulan lalu, dunia maya digegerkan dengan ulah anak SMP yang belajar 'anatomi tubuh'. Dengan kalemnya, siswa laki-laki menggerayangi siswa perempuan, di kelas, ditonton banyak temannya. Sebelumnya, saya masih ingat berita koran yang memberitakan seorang siswa SMA mogok masuk sekolah, bahkan menuntut gurunya gara-gara gurunya memberi hukuman berupa 'potong rambut gratis'. Ini hukuman yang wajar diberikan ketika setelah berkali diingatkan, siswa tidak juga mengikuti kedisiplinan sekolah mengenai penampilan, termasuk rambut.

Saya tak habis pikir. Beberapa orang menyalahkan sekolah dan guru dalam berbagai kasus tersebut. Mungkin ini terdengar seperti pembelaan bagi saya yang seorang guru. Tapi, bukankah sekolah dan guru adalah penunjang? Pendidikan setiap anak dimulai di tempat ia dilahirkan, diajari berbicara dan berjalan. Etika dasar seperti "Jangan menyakiti orang lain", "Berbuat baik pada teman", "bersikaplah sopan" adalah bekal wajib yang harus dibawa siswa ke sekolah, dari rumahnya masing-masing. Tentu saja, guru dan sekolah akan terus mematri etika-etika tersebut agar tak pernah dilupakannya hingga dewasa. Namun, jangan pernah lupa bahwa pendidikan dari orang tua adalah dasarnya.

Kami menyampaikan kebaikan, tapi apa daya jika di rumah ia disuguhkan kekerasan dan itu biasa baginya?
Kami menganjurkan menunda pacaran di usia sekolah, tapi ada daya jika bahkan orangtua pun memperbolehkannya?
Kami mendisiplinkan, tapi apa daya jika tindak tegas kami hanya dianggap kekerasan?

Pendidikan adalah kerjasama, antara edukasi sekolah dan edukasi dasar di rumah. Ini uga yang harus dipahami bagi setiap orangtua dan calon orang tua.

Thursday, October 2, 2014

Last Day at School



Our First (and last) pic

Kemarin, tanggal 30 September 2014 adalah hari terakhir saya mengajar di sekolah tempat saya mengabdi. Terlalu banyak pertanyaan "kenapa", tapi sebenarnya saya sendiri sulit mengungkapkan alasannya dalam bentuk kata-kata.

Sekolah ini bagus, berpotensi baik, dengan anak-anak yang menyenangkan. Sekolah ini adalah inspirasi utama saya dalam menulis blog ini. Lalu, kenapa?

This empty teacher room always makes me comfortable <3
Hidup adalah pilihan. Kita hanya punya 24 jam dalam satu hari. Menurut ilmu ekonomi, ada yang disebut dengan problem of choices. Ketika manusia dihadapkan dengan pilihan, banyak hal yang dipertimbangkan, kemudian salah satunya harus dikorbankan. Mengajar adalah jiwa saya. Namun, masih banyak mimpi dan masih banyak jalan yang harus ditekuni.

Saya mempersiapkan kata-kata perpisahan jauh sebelum hari itu. Saat harinya tiba, rasanya cukup menyesakkan. Saya mengajar dengan mata yang lebih awas; saya tekuni wajah siswa satu persatu. Saya merasa perpisahan ini akan berlangsung biasa; perpisahan di sekolah selalu terjadi. Anak-anak tumbuh, besar, naik kelas, lulus, dan lupa pada gurunya. Pilihannya hanya dua: meninggalkan atau ditinggalkan. Jadi, tidak akan ada yang spesial di hari pengumuman ini, saya pikir.

Reaksi anak-anak saat mendengar bahwa saat itu adalah hari terakhir saya cukup mengejutkan. Mereka ber "HAAAAAAAAAHHHH...???" Panjang dan keras. Saya hanya nyengir, sambil melanjutkan beberapa wejangan saya agar mereka tetap semangat dan rajin belajar. Detik selanjutnya tidak akan pernah saya lupakan. Salah satu siswa menunduk terdiam, dan tak butuh waktu banyak untuk tahu bahwa ia menahan tangis. Dua-tiga siswa perempuan lainnya ikut menangis. Saya tak pernah menyangka akan membuat mereka sesedih ini. Hari itu adalah kali pertama saya belajar tegar. Sebelumnya, saya adalah pengobral air mata. Di depan siswa, saya harus kuat. Meyakinkan mereka untuk juga tegar.

Bendungan air mata saya terlatih. Saya tak menangis. Saya bahagia. Di hari terakhir saya mengajar, saya tahu bahwa cinta saya pada mereka selama ini telah sampai. Tidak hanya di telinga, di mata, atau di otak. Tapi di hati. Menit terakhir, saya bergiliran memeluk siswa perempuan dan menepuk pundak siswa laki-laki.

Saya akan merindukan mereka. Dan sekolah ini.

Sekolah mana lagi yang punya pemandangan seperti ini setiap musim panen? :D

Sekolah selalu memiliki dua keadaan yang sangat berbeda: sangat ramai atau sangat sepi.



Tuesday, September 23, 2014

Voiceless Teaching

Remember that badge from "Eat, Pray Love" movie? I think I need that one.
Musim pancaroba. Flu. Angin malam. Terlalu semangat mengajar. Saya tidak tahu faktor mana yang paling mempengaruhi pada kondisi saya hari ini, namun yang pasti, mereka semua berpartisipasi dalam kasus ini: Penculikan suara milik Ibu Vicky!

http://eemoticons.net 

Setelah mengajar non-stop dari jam 13 sampai 18 dalam kondisi tenggorokan yang tidak sehat, ternyata di hari kedua setelah 'konser' suara saya berubah melengking. Awalnya berasa seksi, mirip-mirip suara Dewi Perssik yang lagi manja. Lama-lama, suaranya makin melemah dan keesokan harinya, saya bangun dengan suara yang sama sekali hilang (!)

Dari situ, saya baru menyadari bahwa kesehatan tenggorokan adalah hal yang paling penting bagi seorang guru. Terkadang, kita menyadari sesuatu yang berharga justru ketika sesuatu itu sedang tidak ada. :')
Sampai hari ini, saya datang ke sekolah dengan kondisi tubuh yang fit, tapi tanpa suara. Kepala sekolah bahkan menunda jadwal supervisinya. But show must go on! Sebentar lagi siswa harus menghadapi UTS dan maih ada pembelajaran yang harus dilakukan sebelum UTS tiba. Akhirnya, saya tetap masuk kelas. Voiceless teaching.

Mulanya, saya menugaskan beberapa siswa untuk jadi "tim sukses". Mereka harus tahu kondisi saya, mengumumkan pada teman sekelasnya, dan menjalani amanah untuk mengontrol masing-masing kelompok belajarnya. Untungnya, KBM hari ini adalah untuk melanjutkan drama minggu lalu. Kemudian, KBM dilanjutkan dengan diskusi mengenai penyebab dan cara mengatasi pengangguran. Saya hanya memberi sedikit direction untuk siswa. Beberapa dibantu dengan bahasa isyarat (beberapa tak kuat menahan tawa, saya sendiri geli memeragakan bahasa isyarat di depan kelas). Namun akhirnya, hari ini berlalu dengan lancar, meski mungkin kurang efektif.

Satu hal, teachers: jaga kondisi, karena tubuhmu, suaramu, pikirmu, idemu dibutuhkan ratusan siswamu. Guru, bukan lagi manusia yang bekerja demi dirinya sendiri. Mereka bekerja untuk manusia yang lain.

Doakan saya cepat sembuh, ya. :')

Wednesday, September 17, 2014

Oh, Drama!

Minggu ini, pembahasan tentang ketenagakerjaan menginjak pada subbab mengenai jenis-jenis pengangguran. Bab yang satu ini memang unik, salah satu rekan guru saya (yang mengajar di bidang IPA) bahkan sempat bercanda dengan setengah kaget; "Hah?! Pengangguran juga dipelajari, ya?!" Begitu katanya..

Pengangguran adalah salah satu masalah Ekonomi Makro. Banyaknya pengangguran menyebabkan produksi agregat menurun, dan hal ini akan menyebabkan pendapatan perkapita menjadi kecil. Sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk mengetahui hal apa saja yang menyebabkan pengangguran, dan bagaimana cara mengatasinya.

Pengangguran terdiri dari 5 jenis yang berbeda berdasarkan penyebabnya, yaitu: Pengangguran Struktural, Konjuntural, Musiman, Friksional, dan Teknologi. (Saya biasa menyingkatnya SKM Fri Tek) Dengan penyampaian metode ceramah biasa, tentu tidak akan membuat pengajaran menjadi mengasyikan. Oleh karena itu, saya menugaskan siswa untuk membuat drama.

Pertama, saya membagi kelas menjadi lima kelompok. Lalu, saya mengundi tiap kelompok untuk mendapatkan jenis-jenis pengangguran yang berbeda. Sebelumnya, saya sudah mempersiapkan kertas undian lengkap dengan penjelasan pengangguran yang berbeda.



Setelah diundi, tiap-tiap kelompok diberi waktu untuk berdiskusi. Mereka membagi peran dan menyusun dialog. Beberapa sangat kaget ketika saya bilang mereka harus mementaskannya di kelas pada hari yang sama, masih pada jam KBM yang sama. Namun yang lain terlihat sangat antusias.

Alhasil, dari 5 kelompok, hanya 2-3 kelompok yang bisa langsung pentas di setiap kelasnya. Saya cukup dikejutkan dengan kemampuan akting siswa yang jenaka, serta kekompakan mereka dalam menyusun dan menampilkan cerita.

Salah satu yang paling menguras tawa adalah ketika siswa mementaskan drama mengenai pengangguran teknologi. Dalam drama ini, bahkan ada siswa yang mendapat peran sebagai mesin. 😁 Tak kalah lucunya, seorang siswa yang mendapat peran sebagai boss, mendadak lupa skenario dan harus mengintip skrip. Saking nervousnya, ia malah membaca skrip milik narator. Maka ditengah dialog seorang boss yang sedang memecat pegawanya, ia malah membaca "Pada suatu hari... eh?" dan seluruh kelas terpingkal.



Setelah menyaksikan setiap pentas drama, audience diminta untuk membuat tabel ringkasan mengenai apa penyebab utama dari setiap jenis pengangguran tersebut. Kemudian nantinya, setiap kelompok akan ditugaskan untuk mendiskusikan cara mengatasinya.

Saturday, August 23, 2014

Class Laughter #2

Di tempat kerja kedua saya--bimbingan belajar informal--selalu ada rekrutmen rutin dan kami biasanya ditugaskan untuk mengetes guru baru di tahap microteaching. Pada tahap ini, guru-guru lama bertingkah seperti siswa, tak sedikit yang meniru tingkah siswa yang suka membuat onar di kelas. Tujuannya, untuk melihat kemampuan guru baru dalam mengendalikan kelas.

Guru Baru: Nah jadi, rumus untuk menyelesaikan soal ini adalah...
Guru Lama1: Pak..! Si A malah mainin handphone!
Guru Baru : Jangan main handphone ya, nak.. kan sedang belajar.
Guru Lama2: Kata siapa gak boleh main handphone?
Guru Baru: Kata saya...
Guru Lama2: Main handphone mah boleh, pak. Yang nggak boleh mainin hati bapak.. :3
*kemudian salting*

Monday, August 18, 2014

Bisnis dalam Pendidikan. Atau Pendidikan dalam Bisnis?

Pendidikan yang diidentikkan dengan bisnis, selalu mengundang tabu. Ingat guru IPS yang jaman SD dulu mengharuskan siswanya membeli peta kecil dari busa tipis, untuk kemudian digunting dan tempel? Sebagian orang tua mengeluhkan hal ini, karena selain tidak terlalu membantu proses pembelajaran, juga seringkali membutuhkan pengeluaran uang.
Praktik bisnis seperti ini seringkali ditemukan di berbagai sekolah. Tidak hanya sekolah negeri, sekolah swastapun selalu lihai melihat kesempatan bisnis di lingkungan sekolah.
Masalah pengadaan buku, misalnya. Saya mendengar bahwa sekolah tingkat SD sekarang menggunakan buku paket tematik. Tujuannya adalah meringankan beban siswa yang (mulanya) harus membawa berbagai buku pelajaran, menjadi cukup membawa satu buku saja. Kenyataannya, ada beberapa sekolah yang mewajibkan siswanya membeli "buku pendamping". Buku apa saja? Lengkap. Mulai dari matematika, bahasa, IPA, IPS, PKN, agama. Hampir semua. Lalu, dimana esensi pengadaan buku tematik? ┐(´д`)┌

Berbagai jenis bisnis terus berkembang di ranah pendidikan. Hal terbaru yang saya sadari adalah momen pembagian rapot. Beberapa bulan lalu, ketika pembagian rapot merajalela, saya ditugaskan oleh tempat kerja saya yang satu lagi (bukan sekolah, melainkan bimbingan belajar swasta) untuk menjaga stand di bazaar sebuah sekolah dasar.
Saat itu, saya baru sadar bahwa bazaar tersebut merupakan kolam susu bagi pihak sekolah. Sekolah hanya menyewa tenda besar sehingga sebagian besar lapangan sekolah tertutup dari sengatan matahari. Bangku dan kursi dari kelas dikeluarkan, ditata sedemikian hingga rapi layaknya bazaar-bazaar modern di pelataran mall dan pusat belanja. Tenant (penyewa stand)nya? Pihak ketiga, pihak luar yang memiliki bisnis bertarget pasar siswa atau orang tua siswa. Saat itu, saya melihat sekitar 50an stand. Pebisnis disini tergiur dengan banyaknya siswa dan orangtua yang akan hadir pada momen pembagian rapot. Lapangan sekolah kini dipadati oleh pebisnis kuliner, mainan, buku, tempat bimbel, sampai ke fashion!

Sebagai lulusan universitas pendidikan dengan konsentrasi bisnis, saya melihat momen semesteran ini sangat menguntungkan bagi pihak sekolah. Bayangkan. Sekolah hanya menyewa tenda. Sisanya, bangku dan kursi adalah properti sekolah. Pihak ketiga yang menyewa stand diharuskan membayar 200-300ribu per hari. Siswa dan orangtua yang datang dijadikan target pemasaran.

Namun, saya tidak melihat hal ini sebagau sesuatu yang tabu. Sekolah bahkan mempergunakan momen ini berbarengan dengan pentas seni yang mendorong kreatifitas siswa. Saya melihat pemanfaatan momen ini sebagau sesuatu yang cerdas. Berbeda dengan 'kewajiban membeli alat belajar yang belum tentu digunakan maksimal oleh siswa', bentuk bisnis semacam ini lebih banyak positifnya. Pertama, karena orangtua atau siswa tidak dipunguti biaya. Mereka berbelanja di bazar adalah pilihan, bukan kewajiban. Kedua, sekolah mendapatkan keuntungan dari pihak ketiga yang memang pebisnis. Ketiga, momen ini bisa dikolaborasikan dengan kegiatan yang mendorong anak untuk berkreasi, misalnya mencoba ikut berdagang, tampil di pentas, dan lain-lain.

Jadi, yang tabu itu adalah bisnis dalam dunia pendidikan. Yang positif adalah, pendidikan dalam dunia bisnis. (*゚▽゚)ノ

Class Laughter #1

*sedang mempresentasikan hasil pengumpulan data mengenai negara maju dan berkembang*

Siswa A: Finlandia sempat memiliki hutang luar negeri yang sangat banyak, mencapai US $ 30++...
Kelas: *menyimak*
Siswa A: Namun, Finlandia mampu bangkit dari keterpurukan tersebut. bakwan, Finlandia menjadi salah satu negara yang..
Kelas: Bakwan?
Siswa A: Maksud saya, bahkan..
Kelas: Mulai lapaa~ar mulai lapaar~

pic source

Sunday, June 29, 2014

Pendidikan di Mata Politik

Setelah cukup lama tidak menulis, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis mengenai topik yang sedang 'trending' akhir-akhir ini; politik.

Menuju pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini, saya cukup excited. Rasanya baru sekarang menghadapi para calon pemimpin yang pengaruhnya sangat kompetitif satu sama lain. Jujur, hingga debat kedua dan ketiga, saya masih berstatus swing voter; pemilih yang masih 'galau', kadang condong ke nomor satu, namun kadang tertarik dengan nomor dua. Namun setelah berdiskusi dengan masing-masing pendukung dari kedua belah pihak, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan.

Debat cawapres yang baru saja saya dengar pada hari Minggu, 29 Juni 2014 semakin menyulut semangat saya untuk ikut andil dalam pemilihan presiden tanggal 9 nanti. Pasalnya, topik yang di angkat adalah mengenai pendidikan dan sumber daya manusia. Beberapa pertanyaan sangat mewakilkan aspirasi saya sebagai praktisi junior di bidang pendidikan.

Satu hal yang paling saya sayangkan selama ini ternyata dijadikan 'senjata utama' bagi salah satu kubu; saya selalu memikirkan dan menyayangkan kekayaan sumber daya alam yang diekspor mentah-mentah dan diimpor setelah menjadi barang konsumsi. Saya sangat menyayangkan minimnya pengetahuan dan teknologi sumber daya manusia di Indonesia sehingga kita kecolongan value added.

Dari pernyataan saya tersebut, tentu sudah terbaca pada kubu yang mana saya berpihak. Mereka menyuarakan apa yang selama ini saya teriakkan dalam hati. Namun, saya tidak mau berkampanye (baik hitam maupun putih) dalam tulisan saya ini. Dalam debat keempat ini, kedua cawapres memiliki keunggulan masing-masing. Hatta Rajasa adalah seorang ekonom yang sangat teoritis, terstuktur, cerdas dan mudah diterima logika. Namun JK yang sudah terbukti di pemerintahannya 10 tahun yang lalu adalah seorang businessman yang praktis, gesit dan nyata dalam bertindak.

Keunggulan mereka ketika dihadapkan satu sama lain dalam membahas masalah pendidikan cukup memuaskan. Hatta berkomitmen pada permasalahannya mengenai kebocoran value added. Fokus pada pengembangan sumber daya manusia, riset dan teknologi demi menyelamatkan martabat Indonesia di pasar global. JK memiliki keunggulan ketika menganggkat mengenai efektifitas, bukan peningkatan APBN untuk pendidikan, juga mengenai cross subsidi dalam pendidikan.

Satu yang sangat saya sayangkan. Ketika membahas mengenai evaluasi pendidikan--yang selama ini kita kenal dengan Ujian Nasional--menurut saya tidak menemukan titik temu ataupun titik terang. UN adalah produk yang didukung penuh oleh JK, namun seperti yang diungkapkan Hatta, penyeragaman sangat sulit dilakukan di negeri yang terdiversifikasi kemampuan dan tingkat ekonominya seperti Indonesia. JK menceritakan bahwa UN yang dilakukanpun sudah melalui banyak penyesuaian, mulai dari bobotnya (mulanya 100% kelulusan ditentukan oleh UN, kemudian terakhir menjadi 60%-40% antara nilai UN dan nilai raport), juga dari jumlah paket yang disediakan untuk mengurangi kecurangan. Namun, saya sangat gatal untuk bertanya: Tahukah anda, hal itu berdampak pada guru yang terpaksa harus 'mengatrol' nilai raportnya demi menyelamatkan anak-anaknya agar lulus UN? Tahukah bahwa beberapa anak kini mendapatkan nilai yang 'terpaksa' ditinggikan karena adanya tuntutan 40% nilai raport harus bisa 'menyelamat'kan siswa sekaligus sekolah, meskipun kemampuan anak masih sangat jauh dari cukup? Sayangnya, masalah yg bersifat teknis ini tidak dibahas (atau tidak diketahui?) baik oleh pihak Hatta maupun JK.

Hingga saat ini, saya sendiripun masih banyak bertanya, pentingkah UN? Adilkah? Tepatkah? Apa yang harus diperbaiki?

Semua jawabannya hanya bisa diungkapkan oleh pemerintahan berikutnya, pemerintah yang sadar dan peduli masalah pendidikan. The choice is yours, anda yang menentukan akan memilih kubu yang dapat melihat masalah secara global, atau memilih kubu yang sangat jelas secara teknis meski cakupannya lokal. Yang pasti, memilihlah!

Sunday, May 11, 2014

The Pre-Test Effect

Minggu ini, materi di kelas Ekonomi adalah materi yang sangat umum dan tidak asing; mengenai Uang dan Bank. Saya berfikir, menjelaskan di depan kelas tentang uang dan bank hanya akan membuat siswa bosan, karena masing-masing siswa sudah memiliki deskripsi masing-masing mengenai apa itu uang dan bank.

Oleh karena itu, saya menggunakan metode pre-test. Tanpa menjelaskan sedikitpun teori-teori uang dan bank, saya ingin tau sejauh mana pengetahuan mereka tentang hal-hal tersebut. 

7 pertanyaan dasar mengenai uang dan bank saya lontarkan, dan harus dijawab siswa tanpa bertanya apa lagi melihat buku. Ternyata pre-test bisa menghasilkan respon yang beragam. Beberapa merasa sulit mendeskripsikan "Apa itu uang?" dalam bahasa yang ilmiah. Mereka juga kebingungan ketika diminta menyebutkan jenis-jenis bank dan produk-produk bank. Akhirnya, jawaban yang ditulis tak sedikit yang mengundang tawa.

"Uang adalah sesuatu yang bisa dipakai untuk membeli dan membayar, bu! Yang bisa dipinjamkan juga.." kata seorang siswa nyeletuk, ketika sesi pembahasan. Seluruh kelas tergelak. "Jadi, kalau tidak bisa dipinjamkan, namanya bukan uang?" Kata siswa yang lain nyeletuk iseng.

Setelah menulis se-konyol apapun jawaban mereka, mereka diperbolehkan mengecek jawabannya dengan materi di buku paket.Saya cukup kaget melihat para siswa begitu excited untuk membuka buku dan mencari jawaban, karena mereka didorong dengan rasa ingin tau-dan ingin memverifikasi jawabannya sendiri.

Ternyata, pre-test punya efek yang bagus. Selain membantu siswa berfikir kreatif mengenai pelajaran yang belum pernah disampaikan, pre-test juga membangun rasa ingin tau siswa.

Friday, April 18, 2014

Question Cards Game

Baiklah, saya memang tidak terlalu ahli dalam membuat nama untuk sebuah permainan. "Question Cards Game" adalah nama dadakan yang saya pikirikan, dan iya, namanya memang mainstream. Konsep tentang metode pembelajaran yang satu ini saya pikirkan dalam waktu yang singkat, sekitar 12 jam sebelum mengajar di kelas, saya gelisah mengingat metode untuk mengajar besok belum matang dipersiapkan. Akhirnya, saya terpikir untuk memberikan soal dengan cara yang "berbeda"

Siswa akan sangat tegang apabila mengetahui kegiatan belajar hari ini adalah mengerjakan soal. Mereka seolah paranoid dengan kalimat "Oke, sekarang keluarkan kertas selembar!". Kenapa saya tau mereka paranoid? Karena setiap saya mengatakan hal itu, siswa selalu menarik nafas berat, beberapa memekik tertahan, dan bertanya "Ulangan, bu?". Bahkan pada kertas selembarpun mereka seolah ketakutan. http://eemoticons.net

Akhirnya, saya berinisiatif untuk membuka pelajaran dengan kalimat yang berbeda kali ini, saya mengatakan "Hari ini kita akan bermain kartu!" http://eemoticons.net Kelas langsung ricuh dan beberapa nyeletuk "Remi bu? Gapleh?" "Kok main kartu sih?" "Wah..aku gak bisa kalau remi.." dan celetukan celetukan lainnya. Alhamdulillah, dari mulai pemberitauhan aturan main sampai akhir permainan, semua siswa terlihat antusias.



Jadi.. inilah yang saya persiapkan:

Materials:
- 12 kartu pertanyaan dengan kode
- 12 kartu jawaban dengan kode yang sama dengan kartu pertanyaan
- Meja belajar di kelas diatur agar siswa dapat duduk belingkar
- Stopwatch atau timer untuk memperhatikan waktu

Aturan Main:
  • Siswa diperbolehkan memilih pasangannya, permainan ini dilakukan secara berpasangan
  • Pada setiap babak, siswa diperbolehkan mengambil satu kartu soal dan diberi waktu tujuh menit untuk mengerjakan soal pada buku tulisnya masing-masing. (Lamanya waktu merupakan kesepakatan bersama. Untuk soal hitungan biasanya membutuhkan waktu lama)
  • Setelah waktu habis, siswa harus menyimpan kembali kartunya
  • Setelah menyimpan kartu, siswa diperbolehkan untuk mengecek kebenaran jawabannya dengan cara melihat kartu jawaban
  • Siswa melakukan skoring sesuai dengan petunjuk
  • Siswa dapat 'menyerah' untuk mengerjakan soal, dengan menyimpan kartu soal dan TIDAK mengecek kebenarannya dengan melihat kartu jawaban
Skoring:
- Setiap jawaban benar mendapatkan nilai +3
- Setiap jawaban salah mendapatkan nilai -1
- Setiap soal yang tidak selesai dikerjakan (siswa menyerah dan tidak lihat kartu jawaban), maka nilainya 0

Dengan aturan skoring mandiri, ini juga memberikan pembelajaran bagi siswa untuk berlaku jujur. Mereka menilai sendiri pekerjaan mereka dan dituntut untuk jujur. Sebelumnya, telah disepakati bahwa pasangan yang mendapat nilai terendah harus mendapatkan hukuman. Hukuman tersebut ditentukan oleh pasangan yang nilainya tertinggi. Hukumannyapun harus edukatif, misalnya menjelaskan salah satu soal di depan kelas, dan sebagainya.

Dengan metode ini, seluruh siswa terpaksa untuk aktif. Setidaknya, semua siswa berusaha untuk 'aman' dari skor terendah. Tugas gurupun lebih ringan, hanya memegang waktu dan mengawasi. Inilah yang dinamakan "student centered learning method", metode belajar tipe "berpusat pada anak" memang membutuhkan persiapan yang matang dari guru.



Saturday, March 22, 2014

Intermezzo Time!

Minggu pertama di bulan Maret ini menjadi minggu yang (cukup) menegangkan bagi para siswa. Karena, hampir seluruh sekolah menengah atas mengadakan UTS (Ujian Tidak Serius- :p ) Itu berarti, minggu kedua disediakan untuk pekan remedial, yaitu pekan perbaikan nilai bagi mereka yang nilainya belum bisa memenuhi KKM.

Sebenarnya, yang merasa horor di minggu-minggu UTS bukan hanya siswa, loh. Guru-pun ikut merasa 'horor'. Pasalnya, seminggu sebelum UTS guru harus mempersiapkan soal. Tidak sembarangan tentunya, harus dengan perhitungan, analisis pencapaian indikator, tingkat kesulitan, dan lain sebagainya. Pada minggu UTS, guru harus mengawas, memastikan tidak ada praktek "korupsi" pada saat ujian. Lalu, setelah UTS selesai, guru harus langsung memeriksa dan memberi skor. Menentukan siswa mana yang perlu perbaikan dan mana yang tidak perlu.

So, everybody seems to be stressed on those two weeks. Siswa stress dengan ujian dan nervous menunggu hasilnya, guru sudah cukup lengkap stressnya mulai dari mempersiapkan sampai skoring. Belum lagi, beberapa siasat harus dilakoni guru ketika memasuki minggu setel;ah UTS; menghadapi kelas yang terbagi dua, mereka yang perlu perbaikan dan mereka yang tidak.

Untungnya, di saat yang cukup stressful ini, saya ingat seorang guru pernah mengadakan permainan yang sampai sekarang sangat berkenan ketika saya masih duduk di sekolah menengah. Saya pribadi nggak tau nama permainan ini sebenarnya apa; Backwriter? Self Assesment? Testimoni-time? Back-comment? Saya ngakak sendiri dengan nama-nama aneh yang saya coba buat. :p

Yap! Begini. :))

Jadi, ketika sebagian siswa harus duduk mengerjakan soal remedial, sebagian yang lain diperbolehkan ikut bermain. Peraturannya gampang, setiap orang harus punya selembar ketas putih yang ditempel di punggungnya, dan semua yang ikut akan berkewajiban mengisi testimoni--saran, kritik, baik yang positif maupun yang negatif. Maka, setiap orang akan bergiliran menulisi dan ditulisi punggungnya oleh semua teman-temannya.

Ada beberapa peraturan yang harus diperhatikan dalam permainan ini, yaitu:
  • Setiap orang harus menulisi dan ditulisi kertas dipunggungnya, baik kritik positif maupun negatif
  • Penulisan dilakukan secara anonim
  • Kritik yang negatif harus disampaikan dengan cara yang baik, tidak menggunakan kata-kata kasar yang mungkin menyinggung hati
  • Usahakan menulis kritik yang membangun, bukankritik yang berpotensi bullying
  • Hati-hati bagi anak laki-laki yang akan menulis di punggung teman perempuannya, harus minta izin dulu. Kalau teman perempuannya risih, kertas boleh dicabut sementara untuk ditulisi, baru kemudian dipasang lagi di punggung teman tersebut. 
You aren't allowed to TALK behind my back, but you allowed to WRITE there :"
Di menit-menit terakhir, siswa diperbolehkan kembali ke tempat duduk untuk kemudian membaca kertasnya masing-masing. Sebagian besar cekikikan, sebagian yang lain penasaran siapa yang menuliskannya, sebagian penasaran dengan kertas temannya yang lain.

Fungsi dari permainan ini adalah penilaian diri sendiri. Terkadang, kita berlaku dan bertingkah tanpa peduli apa yang dirasakan oleh orang lain. Dan terkadang, teman kita memiliki pendapat yang (sebenarnya) baik untuk mengbah sisi negatif kita, namun tidak sempat membicarakannya secara langsung. Maka, dengan permainan inilah semuanya bisa dilakukan! http://eemoticons.net

Saturday, February 22, 2014

INFLASI

Inflasi adalah salah satu materi favorit saya di kelas ekonomi. Mungkin karena tahun 1998 dulu, kata ini adalah kata paling populer dan sering banget disebut-sebut di berbagai media massa. Televisi, koran nasional, radio, dan lain sebagainya. Sementara waktu itu, saya masih berusia delapan tahun dan tidak paham apa-apa.

Sekitar 12 tahun kemudian, baru saya memahami apa arti inflasi yang sebenarnya, dan hubungannya dengan sebab-dan-akibatnya. 12 tahun, karena bahkan di bangku SMA pun materi tentang inflasi ini tidak masuk dengan baik ke dalam otak saya. setelah saya tahu lebih dalam mengenai inflasi, baru saya merasa dongeng ekonomi pada saat saya berusia delapan tahun itu berubah menjadi sesuatu yang masuk akal dan dapat dikaji.

Inflasi, pada dasarnya adalah kenaikan harga barang secara umum dan terus-menerus. Karena naiknya harga barang, maka nilai uang yang berlaku menjadi turun. Beberapa orang bingung dengan konsep "Harga naik, nilai mata uang turun" ini. Intinya adalah, ketika harga-harga naik, uang dengan jumlah yang sama hanya akan bisa membeli barang yang sama dengan jumlah yang lebih sedikit.

Beberapa hal yang menyebabkan inflasi dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:
  1. Demand pull inflation
  2. Cost push inflation
  3. Imported inflation
  4. Domestic inflation
Demand pull inflation, yang secara bahasa artinya inflasi akibat tarikan permintaan, adalah kenaikan harga yang terjadi karena banyaknya permintaan (excess demand). Banyaknya jumlah permintaan yang tidak terpenuhi ini menyebabkan para produsen dan penjual menaikkan harga agar mendapat keuntungan yang lebih besar. Jika terjadi secara umum, hal ini akan menyebabkan demand pull inflation.

Cost push inflation, yaitu inflasi yang disebabkan karena dorongan biaya produksi. Contoh paling kongkrit dari cost push inflation adalah kenaikan harga BBM. Karena naiknya harga BBM, hampir seluruh barang produksi maupun barang konsumsi mengalami kenaikan harga, mengingat perdagangan dan penyaluran barang membutuhkan biaya transportasi. Contoh lain, yaitu naiknya gaji atau upah karyawan. Naiknya UMR atau UMP juga dapat menyebabkan inflasi, karena jika dilihat dari sisi produsen, biaya produksi yang dikeluarkan tentu akan meningkat dan hal ini memaksa produsen untuk menaikkan harga jual barangnya. Secara menyeluruh, hal ini akan menyebabkan inflasi karena dorongan biaya.

Imported inflation, dari namanya kita tentu tau apa penyebabnya; barang impor. Inflasi yang satu ini adalah inflasi yang sifatnya "menular", ketika negara kita sedang adem ayem dengan tingkat inflasi yang aman, kita bisa saja 'tertular' inflasi dari negara lain yang sedang mengalami inflasi, karena adanya hubungan ekspor dan impor dengan negara tersebut. Misalnya, sebagai negara agraris yang (masih) mengimpor beras, kita bisa saja mengalami inflasi apabila negara pengekspor mengalami inflasi. Negara yang mengalami inflasi otomatis menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal baik untuk di dalam negerinya maupun di luar negerinya. Oleh karena itulah inflasi ini dapat menular pada negara lain yang terhubung dengan perdagangan internasional

Domestic inflation. Secara bahasa, artinya adalah inflasi domestik, inflasi dalam negeri. Namun, apa penyebabnya? Pernah mendengar pertanyaan polos dari seorang siswa SD mengenai pencetakan uang? Kira-kira begini yang seringkali saya dengar;
"Bu.. kan katanya negara kita banyak hutang. Kenapa kita nggak cetak aja uang yang banyak, terus bayar utangnya? Uang kan tinggal cetak dan gunting..."
Pernyataan itu tidak salah. Ya, uang kertas yang kita gunakan sekarang tinggal cetak dan gunting, tapi terpikirkah oleh kita, betapa banyaknya uang tersebut beredar di masyarakat nantinya? Ini salah satu penyebab domestic inflation, yaitu terlalu banyaknya uang yang beredar dibandingkan dengan jumlah barang yang dihasilkan. Misalnya, karena APBN mengalami defisit (kelebihan pengeluaran dibandingkan pendapatan) hal ini menyebabkan pemerintah terpaksa mencetak uang baru untuk membiayai pembangunan negara. Hal ini menyebabkan jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Apa yang terjadi jika jumlah uang yang beredar terlalu banyak? Jumlah permintaan dari konsumen akan bertambah, sedangkan produsen yang sudah memiliki banyak uang tidak menambahkan jumlah produksinya. Hal ini dapat menjadi dampak bagi demand pull inflation dan tentu dampaknya adalah, kenaikan harga barang secara umum yang kita kenal dengan inflasi.

Dampak Inflasi
Inflasi tidak selamanya memiliki dampak negatif, meski sebagian besar dampaknya adalah negatif. Dampak negatif dirasakan hampir oleh semua orang; konsumen, pekerja dengan gaji tetap, bagi para penabung, bahkan bagi kreditor. Namun, dampak positif juga dapat terjadi, salah satunya dirasakan oleh produsen dan debitor. Bisakah kamu menganalisis, mengapa produsen dan debitor diuntungkan dalam keadaan inflasi?

Thursday, February 20, 2014

Learning Sources are Everywhere!

Memasuki semester genap, materi yang termuat di pelajaran ekonomi tak hanya mengenai teori. Pada semester genap, siswa mulai diajak untuk mengetahui bahwa semua hal yang terjadi di sekitar mereka tidak akan lepas dari teori ekonomi yang termuat di buku mereka. sayangnya, tidak semua siswa ngeh bahwa apa yang dipelajari mereka sekarang tidak jauh dengan apa yang diberitakan reporter cantik di layar televisinya, mungkin karena mereka mampir ke chanel berita hanya beberapa menit.

Oleh karena itu, akhir-akhir ini saya 'memaksa' mereka untuk melihat dunia di sekitarnya dan meminta mereka menghubungkan dengan teori di buku teks mereka. Seperti beberapa minggu lalu, saya meminjam setumpuk koran langganan sekolah dan membawanya ke kelas. Koran bukan hal yang asing, sebenarnya. Tapi baru saat itulah mereka menemukan bahwa kejadian-kejadian ekonomi yang hanya mereka khayalkan di kelas, juga benar-benar terjadi pada negrinya. Seperti inflasi, kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan lain sebagainya.





Koran hanya salah satu media untuk menunjukkan pada siswa bahwa apa yang mereka pelajari itu penting. (Mengingat beberapa siswa malas sekolah karena merasa apa yang dipelajari di sekolah itu tidak penting) Dan selain koran, tentu sangat banyak media yang dapat digunakan untuk melengkapi pembelajaran. Terlebih sains.salah satu rekan guru yang mengajar Biologi bahkan menyimpan roti yang sudah berjamur di laci mejanya, "untuk penelitian", katanya.

Minggu depan, saya menugaskan para siswa untuk observasi langsung pada pedagang kaki lima sebagai media (sekaligus metode) pembelajaran kewirausahaan, yaitu menghitung titik balik modal (Break even Point). It gonna be fun! Yap. Sebenarnya, tidak ada alasan untuk malas belajar atau mengajar. Because learning sources are everywhere!

Wednesday, February 19, 2014

Scrabble Today

Finally can write again after a long hiatus. Too busy to teach, but still, English Club activity is one of my favorite job.

Last week, we listen to a story at language lab, and today we just play scrabble. It was fun! Everybody seems so excited and we play for 2 hours. Its my first time to play scrabble too, anyway. (I just play it in my PC before) And I'm kinda fall in love with this game. Want to play scrabble with me, anyone?

Tuesday, January 28, 2014

Pardon for the Busy-and-Lazy-ness

So, there are too much thing to do, while there are too much thing to write, too. I promise to write here again, still about my teaching-thingy. Pardon for my laziness. I'm gonna write again soon.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...